Tuan Guru Haji Umar dilahirkan di Desa Kelayu Kecamatan Selong Kabupaten
Lombok Timur NTB sekitar tahun 1208 H. (1789 M) dari pasangan Kyai Retane alias
Syekh Abdullah dan Hajjah Siti Aminah. Dalam konteks sosial-keagamaan
leluhurnya terkenal ‘alim dan taat menjalankan syari’at agama Islam. Mereka
tergolong bergaris keturunan darah biru kerajaan Selaparang, yang berasal dari keturunan Penghulu Agung
kerajaan Selaparang yaitu Kyai Nurul Huda, ia mempunyai seorang putra yang
bernama Kyai Ratane, Kyai Ratane mempunyai tujuh orang anak, salah satunya
adalah TGH, Umar Kelayu. Kyai Nurul Huda
dikenal juga dengan Datuk Uda, adalah kakek dari TGH Umar Kelayu yang merupakan
putra dari Penghulu Agung Kerajaan Selaparang.
Sedang ayah dari TGH Umar adalah Kyai Ratane Yang kemudian juga diangkat
sebagai Qadi di Selaparang.
Menurut riwayat, sewaktu TGH Umar masih dalam kandungan, pada tanggal 27
Ramadhan 1207 H. ketika ibundanya mengambil air wudlu’ untuk persiapan sholat
Subuh menjelang fajar tiba, ia melihat cahaya yang amat menakjubkan di sekitar
lumbung di halaman rumahnya. Setalah selesai berwudlu’
ia naik ke gelamparan lumbung dan melihat seluruh benda-benda di sekelilingnya
bersama-sama merunduk, seolah-olah sedang bersujud menyembah Allah SWT.” Masya Allah! Apa yang terjadi?” pikirnya, Sejenak beliau tertegun dan mengingat cerita-cerita
leluhurnya yang sering didengarnya semenjak kecil, bahwa salah satu pertanda malam
Lailatul Qadr adalah adanya pandangan menakjubkan yang hanya dilihat oleh orang
yang dikehendaki Allah SWT. Seketika itu pula ia teringat pada anak yang
dikandungnya yang baru berusia beberapa bulan, dan seraya ia berdo’a: “Ya Allah, ku mohon kepada-Mu,
berikanlah karunia-Mu berupa iman yang kuat kepada anak yang kukandung ini agar
ia istiqomah dalam kabajikan untuk mengabdi kepada-Mu ”. Beberapa bulan kemudian lahirlah seorang bayi laki-laki dan diberi
nama Umar. Ibunda yang melahirkan beliau wafat di Kota Makkah pada malam Jum’at
tanggal 7 Dzulqaidah 1317 H. TGH Umar bersaudara kandung sebanyak tujuh orang,
tiga laki-laki dan empat perempuan.
Selama hayatnya,
TGH Umar pernah menikah tujuh kali. Pertama, menyunting gadis Kamasan Lombok
Barat bernama Asiah, yang setelah menunaikan ibadah Haji bernama Hajjah Asiah.
Hj Asiah melahirkan beberapa anak, yang pertama laki-laki bernama Muhammmad
Rais, sehingga di Kelayu dan di Makkah beliau lebih akrab di panggil Ma’ Rais.
Anak-anak yang dilahirkan sangat jarang yang berumur panjang, karena rata-rata
meninggal sewaktu belum balig, kecuali yang bungsu bernama Akar. Setelah dewasa
dan menunaikan ibadah Haji, Akar bernama TGH. Badarul Islam (sebutannya: Tuan
Guru Badar ) TGH Badar kemudian menikahi putri dari Jero Mihram alias Haji
Muhammad Kasim yang bernama Hj. Aminah sekitar tahun 1904. Sejak pernikahan
tersebut TGH Badar tinggal berumah di Pancor.
TGH Umar menikah
di Kota Makkah dengan Hj. Raden Roro ( Rr) Amnah binti Syekh Raden Tayyib
berasal dari Banyuwangi Jawa Timur. Hj. Rr. Amnah adalah cucu dari Temenggung
Banyuwangi yang bernama Temenggung Raden Pringgokusumo. Beliau dikarunia dua
orang anak laki-laki dilahirkan di Kota Makkah pada hari Ahad tanggal 25 Robiul
Akhir 1320 H. bernama Haji Ahmad Badarudin yang kemudian dimasa tuanya lebih di
kenal dengan Haji
Ahmad Tret-tet-tet. Di Pulau Lombok Haji Ahmad Tret-tet-tet sangat terkenal dan
disegani karena karomahnnya. Salah satu karomahnya yang disaksikan orang banyak
yaitu ketika mengantar kepergian TGH Umar ke Labuhan Haji pada pemberangkatan
hajinya. Ketika terakhir kali keberangkatannya ke Tanah Suci Makkah (Januari 1930), kapal Haji yang mengangkut
ayahandanya tidak dapat angkat jangkar pada waktu yang telah dijadwalkan. Konon, itu disebabkan haji Ahmad ingin ikut tetapi tidak diberikan.
Pada saat itu beliau menghilang selama dua hari dua malam. Akhirnya kapal haji
dapat diberangkatkan setelah beliau mengikhlaskan kepergian ayahandanya. Haji
Ahmad telah wafat di Pulau Lombok pada tahun 1988 dan dimakamkan di Karang
Kelok Mataram.
Istri-istri TGH
Umar selain dari dua orang yang tersebut di atas ada juga dapat melahirkan anak
dan ada juga yang tidak dapat melahirkan anak. Istri-istri beliau yang dapat
melahirkan anak masing-masing : (1) Hajjah Aisyah dari Kelayu dinikahi pada
bulan Jumadil Awwal 1324 H. beliau dikarunia dua orang anak, yaitu yang
laki-laki bernama Haji Abdullah yang dilahirkan di Kota Makkah pada tanggal 19
Syawal 1347 H. dan yang perempuan bernama Hajjah Hurul’ain, (2) Hajjah Aminah binti KH. Khalil Bangkalan
Madura dan dikaruniai seorang anak bernama Hajjah Hafsah. (3) Hajjah Surati
dikaruniai dua orang anak masing-masing Hajjah Subuhiyah dan Hajjah Husniyah.
Istri-istri beliau ada sebagian telah wafat semasa hayat TGH Umar, ada yang sudah dicerai sebelum wafatnya TGH
Umar.
|
TGH Umar Kelayu mula-mula belajar membaca Al-Qur’an pada Ayahandanya Kyai Ratane, kemudian
pada Haji Muhammad Yasin yang juga berasal dari Desa Kelayu. Kemudian berguru pada Tuan
Guru Haji Mustafa di Sekarbela yang ketika itu disebut-sebut masyarakat ahli
Nahwu dan kepada Tuan Guru Haji Muhammad Amin di Sesele untuk belajar Tafsir,
Qawaid, dan Ilmu Nahwu,
Ia menunaikan Ibadah haji pertama kalinya ketika berumur 14 tahun, selama
di Makkah ia mengikuti pengajian halaqah di Masjidil Haram, dan tinggal di sini
selama 15 tahun, di antara gurunya adalah Syekh Musthofa Bin Muhammad Al-Afifi,
salah seorang ulama ahli hadis. Syekh Mustafa Al-Afifi adalah guru dari para ulama
Nusantara abad 19 M, beberapa di antaranya adalah : Hasan Mustafa Garut
(1268H./1852M–1348H./1930M) ulama yang produktif menulis dalam bahasa Sunda,
KH. Ahmad Khalil Bangkalan (1235H/1820M–1341H/1923M) dikenal sebagai guru para ulama Madura.
Sekembalinya dari menuntut ilmu di Tanah Suci Makkah, pada usia kurang
lebih 29 tahun, beliau mulai membuka pengajian halaqah ala Masjidil Haram di
teras rumahnya Bawa ’Sabo Gubug Tenga’ Kalayu. Dalam
kurun waktu yang tidak lama, nama TGH Umar sudah tersebar luas di pulau Lombok
sehingga murid-murid berdatangan dari berbagai desa baik di Kabupaten Lombok
Timur, Lombok Tengah maupun Lombok Barat untuk menuntut ilmu agama di Desa
Kelayu.
Setelah
beberapa tahun memberikan pengajian pada masyarakat Lombok, TGH Umar berangkat
ke Makkah untuk kedua kalinya. Di Tanah suci Makkah beliau juga mengajar pada
pengajian halaqah ma’had di Masjidil Haram. Pada waktu itu banyak warga asal
Melayu yang tinggal di Kota Makkah dan sebagian besar di antara mereka belum
memahami bahasa Arab secara aktif. Sementara itu pengajian halaqah di Masjidil
Haram menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab yang diajarkan dengan pengantar
bahasa Arab. Hal ini mengakibatkan mukimin-mukimin yang berasal dari Melayu
(Nusantara) tidak dapat mengikuti pengajian yang mereka
harapkan dan niatkan dari tanah air. Atas dasar itu, TGH Umar juga membuka
pengajian halaqah menggunakan pengantar bahasa Melayu. Menurut riwayat, ia lebih banyak memberikan pengajian di Makkah daripada di
Lombok, bahkan di Kota Makkah beliau membuka toko Kitab. Karena ketinggian
ilmunya, TGH Umar diangkat sebagai Imam di Masjidil Haram sampai Akhir
hayatnya.
Beliau adalah seorang ulama Suni,
dalam pengajiannya beliau memfokuskan pada pelajaran Fiqih Mazhab Imam Syafi’i.
Salah satu kitab Fiqih yang beliau ajarkan waktu itu adalah “Fathul Qorib”. TGH
Umar juga mengarang Syair dan Nadzom-sejenis kitab Barzanji yang berisi
pujian-pujian kepada Nabi Tabi’it Tabi’in, serta Kitab Burdah, berupa kumpulan
do’a-do’a sholawat, sayangnya sampai
saat ini belum di temukan kitab-kitab karangannya tersebut.
Selain Kitab Burdah, hingga akhir hayatnya baru ditemukan dua buah Kitab
yang dikarang, yaitu Kitab Usuludin Man©arul Amra« yang ditulis pada tahun 1295H, kitab ini
menjelaskan tentang konsep-konsep ketuhanan, dalam aliran Asy’ariyah, di
dalamnya terdapat penjelasan tentang sifat-sifat 20. Kalau
diperhatikan secara seksama kitab ini banyak mengutip dari tulisan Syekh
Zainuddin Sumbawa dari kitab Sirajul Huda yang merupakan syarah dari Ummu
al-Barahin karya Imam Sanusi. Dan Lu’lu’il
Masyhur
yang ditulis pada tahun 1342 H, kitab ini menjelaskan tentang sejarah Rasulullah SAW dan ditulis ulang oleh Muh. Jamal bin
Muhammad Amir
tahun 1348 H. Kedua kitab ini sudah dicetak di percetakan Mulia Surabaya pada
tahun 1369H/ 1949
M.
Murid-muridnya
TGH Umar
mempunyai murid yang cukup banyak dari berbagai negeri dan daerah seperti :
Palembang, Johor, Kedah, Jawa, Bali, Perak, Lampung dan Lombok. Murid-muridnya
yang terkenal dan menjadi ulama’ besar di luar Lombok antara lain: Syekh Muhammad
Zen Bawean (Makkatul Mukarramah),Tuan Guru Haji Abdul Patah Pontianak (kalimantan), Tuanku Haji Daud Palembang (Sumatra), Buya Haji Nawawi Lampung (Sumatra), Gurutta H.
Abdurahim Kedah, KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdatul Ulama). Sedangkan yang dari
Lombok sebagai penerus perjuanganya antara lain; TGH. Rais Sekarbela, TGH. Saleh
Hambali Bengkel, TGH. Abdul Hamid Pejeruk Mataram, TGH. As’ari Sekarbela, TGH. Abdul Karim
Praya, TGH. Mali Pagutan, TGH. Muhammad Saleh alias Tuan Guru Lopan, TGH. Syarafuddin Pancor, TGH. Badarul
Islam Pancor (putra beliau), TGH. Muhammad Ali Kelayu (Keponakan), TGH. Abdullah Kelayu, TGH.
Zainuddin Tanjung, TGH. Mohammad
Thohir Mamben, TGH. Nuh.
Dari murid-murid
TGH Umar Kelayu tersebut banyak yang
kemudian menjadi tokoh-tokoh penting di organisasi kemasyarakaatn Islam seperti
NU dan NW di Lombok, juga banyak yang kemudian menjadi guru tarekat.
Para Tuan Guru
ini kemudian selain membentuk jaringan yang lebih luas, mereka juga memiliki peran yang
cukup penting
dalam penguatan ajaran Islam pada abad ke 19 dan awal abad 20 di Lombok. Di
antara mereka ada yang mendirikan pondok pesantren, dan melakukan rihlah
dakwah. Selain keterlibatan mereka dalam transmisi ke-Ilmuan, para Tuan Guru juga terlibat dalam Perang
Lombok melawan penguasaan Bali-Sasak. Pada tahun 1891 -1894 M, dimana
masyarakat Islam bersatu di bawah komando para Tuan Guru melawan penguasaan
Bali-Sasak. Kalaupun pada akhirnya Belanda turut campur dalam mengusir
penguasaan asal Bali di Lombok. Setelah penguasaan Bali dapat dilumpuhkan di
Lombok, Belanda yang tadinya sekutu orang-orang muslim, berbalik menjadi
penjajah baru di Lombok. Sejak itulah awal mulainya koloni Belanda berkuasa di
Lombok. Para Tuan Guru bersama murid-muridnya melakukan perlawanan terhadap
Belanda sampai Penjajah meninggalkan Gumi Sasak (Tanah Lombok).
Adapun sahabat karib TGH Umar yang terkenal seperti: Syekh Sayyid Yamani,
Syekh Umar Bajunet Hadrami, Syekh Abdul Kadir Mandailing, Syekh Muhtar Bogor,
Syekh Jamal Maliki (Mufti Mazhab Maliki), KH. Muhammad
Khalil Bangkalan Madura, TGH. Muhammad Sidik Karang Kelok, TGH. Ibrahim Tanjung
Luar, dan TGH. Muhammad Mertak.
Setelah cukup lama mengajar mengaji dan mengadakan Pembaharuan di
tengah-tengah masyarakat baik di Lombok maupun Makkah, kondisi kesehatan TGH. Umar mulai menurun sejak tahun 1928 M. Sejak saat itu beliau
istirahat memberikan pengajian di luar rumah bahkan ke masjid pun hanya pada
hari Jum’at. Pada saat itu, kondisiya sudah cukup uzur. Malahan ketika pergi
dan pulang dari masjid beliau diusung menggunakan juli (yaitu kursi rotan yang
dipasangkan dua buah kayu panjang pada sisi kanan dan kirinya , dan diikat
menggunakan tali ) serta diangkat oleh para jama’ahnya. Ini adalah salah satu bukti kecintaan Tuan Guru
Umar terhadap umatnya, sekaligus bukti rasa tanggung jawabnya dalam membina
umat Islam.
Kiprah Tuan Guru Di
Masyarakat
Tuan guru
memiliki pengaruh yang besar dan menduduki posisi yang sangat strategis dalam
masyarakat sasak. Karisma dan status Tuan Guru semakin meningkat seiring dengan
bertambah luasnya wilayah dakwah dan semakin banyaknya pengikut Tuan Guru.
Masyarakat sasak memiliki pandangan sendiri tentang Tuan Guru, besarnya
pengaruh tuan Guru tidak dapat di lepaskan dari sikap dan pemahaman masyarakat
sasak tentang Tuan Guru.
Tuan Guru adalah
sebutan dari seseorang yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi yang diberikan
oleh masyarakat sebagai wujud dari pengakuan mereka terhadap kelebihan-kelebihan
yang dimiliki seseorang. Pada umumnya mereka yang diberikan gelar tuan guru
adalah seseorang yang pernah belajar di Timur Tengah (belajar pada
ulama’-ulama’ terkenal) atau minimal pernah berhaji, memeiliki jama’ah
pengajian (pengajar majlis ta’lim di
beberapa tempat), atau pondok pesantren dan memiliki latar belakang hubungan
dengan seseorang yang berpengaruh, atau boleh jadi karena orang tuanya adalah
tuan Guru.
Pada abad ke 18
sampai awal abad ke 20, mereka yang menjadi Tuan Guru adalah yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut antara lain : Pertama, memiliki
pengetahuan memeadai tentang ilmu-ilmu ke-Islaman dan berbagai
ajaran-ajarannya. Kedua, pernah belajar kepada ulama’-ulama’ terkenal di Timur
Tengah (khususnya Haramain). Ketiga, memperoleh pengakuan dari masyarakat.
Pengakuan masyarakat menjadi sangat urgen bagi eksistensi ke-Tuan Guru-an
seseorang. Keempat, memiliki karomah.
Seseorang dikatakan memiliki karomah apabila ia dapat mengadakan sesuatu
diluar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Allah SWT. Setelah
abad ke 20 persyaratan-persayaratan ini semakin melunak untuk menjadi tuan
Guru. Tidak diharuskan pernah belajar di Timur Tengah, akan tetapi dia tetap
haji dan tidak mesti memiliki karomah, asalkan memiliki pondok pesantren atau
karena orang tuanya Tuan Guru.
Tuan guru menjadi
figur yang utama dan memiliki pengaruh yang kuat pada masyarakat sasak Lombok
salah satunya TGH Umar Kelayu. Beliau sosok yang sangat sederhana, karena bisa
memberikan keteladanan pada Umat, ucapan dan tindakannya seirama sehingga
menjadi sosok yang paling disegani, dituruti dan di taati dalam kultur
masyarakat sasak. Ulama’ besar ini (Datuk Umar) punya prinsip “Hidup untuk Berjuang bukan Berjuang untuk
Cari Hidup”. Bahkan jejak beliau sangat terasa dan membekas pada diri keluarga,
jamaah dan ummat sampai saat ini. Kita bisa saksikan bagaimana masyarakat
Kelayu yang punya garis keturunan langsung dengan beliau, hidup dalam pengaruh
nilai-nilai Islam. Beliau tidak mewariskan harta, jabatan, pangkat, tetapi wewariskan
keluhuran budi, keikhlasan dalam setiap Aspek ibadah dan ketaatan. Perjalanan
dakwahnya sangat terasa sampai luar negeri (Timur Tengah), Nusantara, dan kampung halamannya
(Sasak- Lombok). Dengan melahirkan dan membesarkan Tuan Guru yang ada di
Lombok.
Pada tahun 1929
M. TGH. Umar meminta isteri dan anak-anaknya untuk berangkat menunaikan ibadah Haji ke
Baitullah di Makkatul Mukarramah. Namun isteri dan anak-anaknya tidak mau berangkat
tanpa keikutsertaan TGH Umar. Setelah melalui berbagai pertimbangan, TGH. Umar
pun bersedia turut serta walaupun dengan sangat berat hati meninggalkan jama’ah
dan masjid yang dibangun belum selesai 100%. Dengan firasat ke ulama’an dan
karomahnya, beliau sengaja mengundang jama’ahnya datang ke masjid pada sore
hari Jum’at di bulan Rajab tahun 1348 H. (Desember 1929 M) untuk menyampaikan
kata-kata perpisahan kepada jama’ah yang dicintainya.
Jama’ah pun
berdatangan dari luar desa Kelayu sehingga memenuhi halaman masjid sampai ke
pekarangan kantor desa dan pasar Bawa’ Bage serta melimpah sampai ke jalan menuju pasar besar Tago’. Sebelum
menyampaikan kalam-kalam terakhirnya, para jama’ah telah melihat dengan jelas
deraian air mata telah membasahi pipinya, namun para jama’ah belum mengetahui
apa yang hendak disampaikan oleh sang Guru. Ketika saatnya tiba, beliau
berpidato sambil menangis yang mengakibatkan kata-kata agak sulit keluar dari
bibirnya.
Dalam tausiyah
yang beliau sampaikan dapat dipetik beberapa benang merah, yaitu: (1)
Menyampaikan permohonan ma’af atas segala kekeliruan selama hayatnya, (2) Jika
wafat di Lombok, agar dimakamkan di dekat mimbar masjid Al-Umary kelayu, (3)
Menyerahkan kepengurusan Masjid kepada penghulu desa Haji Muhammad Ali, (4)
mempersaudarakan seluruh murid-muridnya dengan mengikat janji agar semua saling
memberi syafa’at kelak di hari kemudian (Yaumul ba’ts padang mahsyar), dan (5)
Mengumumkan kepergiannya ke tanah Suci Makkah serta mohon diri dari para
jama’ahnya karena kemungkinan tidak kembali lagi ke pulau Lombok. Setelah
mendengar kata-kata terakhir itu, deraian air mata dari seluruh jama’ah tak
dapat dibendung. Satu tahun setelah kedatangannya di Mekkah, TGH
Umar Wafat dalam usia 145 tahun tepatnya tanggal 2 Rabiul Akhir 1349H./1930M.
di kediamannya kampung misfalah, Makkah, beliau dimakamkan di Ma’la berdekatan
dengan makamnya Ibnu Hajar al-Haithami.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung:
Mizan, 1998, cet. Ke-4.
Budiwanti, Erni, Islam Sasak: Wetu Telu
versus Waktu Lima, Yogyakarta: LkiS, 2000.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi
Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1982.
Fadli, Adi, Sejarah
Pendidikan Islam di Tanah Sasak, makalah seminar tentang Sejarah Pendidikan
Islam di Lombok, di Ponpes al-Asma’ al-Husna Tanak Beak Pemangket Lombok
Tengah, September 2006.
Fadly, Ahyar, Islam
Lokal: Akulturasi Islam di Bumi Sasak, Bagu: STAIIQ Press, 2008.
Fatmawati, Siti, “Tarekat dan Pembinaan
Akhlak: Studi Kasus Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pesantren Darul
Falah Pagutan Lombok”, dalam Jurnal
Ulumuna, Mataram: STAIN Mataram, 2002.
Jamaluddin, Sejarah Sosial
Islam di Lombok tahun 1740-1935 (Studi Kasus terhadap Tuan Guru),Jakarta;
Kementerian Agama Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan, 2011.
Salam, Solichin, Lombok Pulau Perawan:
Sejarah dan Masa Depannya, Jakarta: Kuning Emas, 1992.
Zailani, Kamaruddin, Teologi Waktu Telu, Yogyakarta:
UIN Suka, 2002, tesis.
Zakaria,
Fathurrahman, Mozaik Budaya Orang Mataram, Mataram: Sumurmas al-Hamidi,
1998.
sama-sama gan semoga bisa bermanfaat, kritik dan sarannya kami tunggu lo gan!!!
ReplyDeleteSubhanallah
ReplyDeleteMantaaab
ReplyDeleteBerarti tuan guru Umar Nike sak pertama tuanguru sak arak lk Lombok deh ?
ReplyDelete